Senin, 14 Februari 2011

Mendidik Dengan Hati


Mendidik adalah sebuah profesi istimewa. Sering disepelekan, tapi tak mudah dilakukan. Kegiatan mendidik tak pernah lepas dari peran seorang guru. Sebagai seorang guru, kita tentunya sering menghadapi seorang murid yang seolah tak peduli dengan sekelilingnya. Ia selalu menghindar dari guru, tidak perhatian pada pelajaran, dan tidak memiliki hubungan sosial yang baik. Menghadapi murid yang seperti itu tentu adalah sebuah tantangan. Namun, meninggalkan murid yang seperti ini tentu bukan suatu sikap yang bijaksana karena ia dapat menjadi semakin terasing dan terlibat dalam perilaku-perilaku kejahatan dan kekerasan. Lantas, bagaimana menciptakan sekolah idaman sebagai dunia yang menyenangkan baik bagi siswa maupun guru ?
“ sekolah mestinya menjadi ‘ agent of change ‘ bagi siswanya. Mengubah kondisi negatif siswa secara akademis dan moral menjadi positif “ ( Munif Chatib, penulis buku best seller sekolahnya manusia )
Sekilas kutipan dari mendidik dengan hati-nya Allen N. Mendler :

Mengenali Siswa Yang Merasa Tidak Diperhatikan
·      Menarik diri dari lingkungan sosial
·      Menunjukkan tema-tema kekerasan dalam bentuk gambar atau tulisan secara detail dan terus menerus
·      Terus menerus bersikap tidak adil terhadap siswa lain
·      Tidak toleran dan berburuk sangka dalam perbuatan maupun tulisan
·      Senang mengganggu siswa lain
·      Terlibat dalam geng
·      Menggunakan obat-obatan terlarang dan alkohol
·      Mengancam akan melakukan kekerasan
Demikian perilaku-perilaku spesifik yang dapat di identifikasi, dan seharusnya diwaspadai pendidik.

Sikap dan Perasaan yang Diperlukan
Menjalin kedekatan dengan para siswa artinya kita sesekali harus memisahkan keyakinan, penilaian dan standar moral pribadi kita dari tanggung jawab kita untuk merasa kasihan dan prihatin terhadap mereka yang kita anggap berbeda atau bahkan mungkin secara pribadi tidak dapat kita terima. Kita semua adalah orang dewasa yang memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang menjadi teman dan menghindar dari orang-orang yang kita anggap tidak menarik. Dan karena peran kita adalah sebagai seorang pendidik, maka kita tidak punya kemewahan untuk memutuskan siapa yang dianggap patut dan siapa yang tidak. Kita harus menaggalkan pemikiran yang konvensional ketika sedang meluangkan waktu bersama, jika kita diharapkan memberi pengaruh positif pada siswa yang terkadang perkataan dan perbuatannya membuat kita marah, kecewa, atau takut.
Pak Setiawan adalah seorang guru sekolah menengah yang luar biasa, dan dicintai oleh hampir seluruh muridnya. Ronny adalah siswa yang memiliki kebiasaan untuk selalu menghindar dari hampir semua orang dewasa yang dia temui. Sekeras apapun usaha pak Setiawan untuk menjalin kedekatan dengannya, Ronny selalu menolaknya dengan mengatakan akan melakukan sesuatu yang sifatnya menyerang. Walau sedikit memendam perasaan kesal, pak Setiawan tetap mendekatinya dan berkata :
Ronny, saya tahu Tuhan menempatkanmu dikelas saya untuk membuat saya menjadi guru yang lebih baik dan orang yang lebih sabar. Dia mengingatkan saya bahwa saya masih harus melalui satu jalan lagi untuk menjadi guru yang sukses mengajari murid-muridnya. Saya telah mencoba dengan sekuat tenaga mencari kata-kata atau melakukan sesuatu untuk membuatmu percaya bahwa kamu adalah murid yang mampu meraih hal-hal yang besar, sejauh ini tampaknya saya tidak berhasil membuat kamu mengerti. Apakah ada saat-saat dimana kamu telah mencoba sekuat tenaga, tetapi tidak juga mendapatkan hasil yang kamu inginkan? Apakah ada orang-orang dalam hidupmu yang tak pernah puas akan jerih payahmu untuk membuatnya senang meski kamu telah mencobanya sekuat tenaga? Bagaimana perasaanmu tentang semua itu? Dan apa yang kamu lakukan saat mengalami ini?

Pak Setiawan mampu mengesampingkan perasaan pribadinya dan, sebagai guru, dia menyadari bahwa Ronny mungkin memiliki sesuatu untuk memberinya pelajaran. Sebagian besar anak-anak yang “sulit” memberi kita peluang untuk belajar dan mempraktekkan kesabaran, kasih sayang, dan toleransi. Sangat sulit bagi sang murid untuk tetap merasa diabaikan ketika ada orang dewasa yang peduli dan sabar berusaha menyentuh hati mereka dengan cara-cara yang menunjukan adanya keinginan untuk belajar memahami.
Dapatkah anda mengingat beberapa siswa yang membuat anda bersikap kasar atau jengkel? Apa yang dapat anda pelajari dari anak-anak ini tentang kesabaran, kasih sayang atau toleransi sehingga bisa membuat anda menjadi guru yang lebih baik atau bahkan menjadi orang yang lebih baik daripada saat ini?
Mungkin saat ini meninggalkan toleransi nol adalah sebuah kebaikan bagi kita para guru. Jika pengertiannya dipaksakan secara kaku, toleransi nol dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi yang tidak perlu, seperti skorsing atau dikeluarkan dari sekolah. Dalam hal ini tidak membantu apa-apa, justru kaum muda—yang pada dasarnya sudah tercabut hak-haknya – akan merasa terasing. Diskors karena membawa pisau plastik dalam ransel atau membawa pengikir kuku tanpa sengaja, jelas tidak perlu terjadi. Bahkan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks masih diperlukan analisis dan penilaian dalam menjatuhkan sanksi. Daripada mengikuti teori-teori yang ada, para guru dan pejabat sekolah hendaknya dapat menggunakan pengetahuan dan intuisi mereka untuk mendalami lebih jauh isu-isu yang mempengaruhi perilaku siswa. Kita harus bersikap “ sekeras yang diperlukan “ dan bukan “ toleransi nol “. Mengeluarkan anak dari sekolah tanpa melakukan komunikasi dalam bentuk apapun dengan mereka dapat memperdalam kebencian sehingga mengakibatkan siswa yang marah ini justru lebih membahayakan.
Kita sebagai para pendidik, pasti pernah memiliki perasaan pesimistis dalam upaya mengubah perilaku orang. Penelitian tentang kesehatan menemukan bahwa rasa optimistis dapat membantu orang untuk mengatasi penyakit dengan lebih baik dan dapat hidup lebih lama. Tak diragukan lagi bahwa optimisme yang berkesinambungan juga merupakan alat tangguh untuk mempengaruhi orang lain. Meskipun demikian, keyakinan bahwa upaya yang kita lakukan dapat dan akan membuat perubahan seharusnya dilandasi dengan kesadaran bahwa proses perubahan biasanya berjalan lambat dan goyah.
Lebih mudah menjalin ikatan / kedekatan dengan para siswa apabila kita memandang gelas peluang sebagai setengah penuh, dan bukan setengah kosong. Mengubah cara berfikir kita mengenai beberapa siswa tertentu serta perilaku mereka akan membuka pintu ke arah interaksi yang jauh lebih positif dengan mereka. Misalnya, jika kita memberi label seorang siswa yang kerap menyulitkan kita sebagai anak yang “ keras kepala “ atau “ tidak patuh “, tak pelak kita hanya akan bereaksi negatif, dan kemungkinan kita hanya akan saling adu kekuatan dengan sang murid. Tetapi jika kita memandang siswa tadi sebagai anak yang memiliki “ tekad yang kuat “ atau “ berpendirian “, kita cenderung akan menghargainya ; sebagian besar orang dewasa mengagumi anak-anak yang memperlihatkan kualitas seperti ini. Bahkan, siswa-siswa yang menerapkan kualitas ini dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah biasanya memperoleh kesuksesan yang luar biasa. Pengalihan persepsi kita dari “ keras kepala “ menjadi “ bertekad kuat “ memudahkan kita menghindar dari unjuk kekuatan atau perang urat saraf yang mungkin terjadi. Sementara itu kita akan memiliki kesempatan untuk mengakui sikap tegas sang murid sebagai kekuatan yang bisa diarahkan.
Hampir semua perilaku negatif memiliki korelasi yang positif. Sang “ badut kelas “ dapat di pandang sebagai si pengocok perut yang membantu membuat segala sesuatunya menjadi lebih ringan. Siswa yang lambat dapat di pandang sebagai orang yang hadir. Siswa yang bertabiat “ terburuk dari yang paling buruk “ dapat di lihat sebagai yang “ tertangguh di antara yang tangguh “ karena telah mampu mempertahankan diri dari dunia yang kejam yang selalu berupaya mengambil keuntungan darinya. Ketika kita membingkai sikap dan perilaku negatif, kita akan membuka pintu untuk saling berbagi dan menghargai, bukan untuk memperburuk konflik.
Darryl A, seorang guru sekolah menengah di wilayah Chicago, menulis kata-kata yang positif dan mendukung untuk setiap huruf dari nama siswa. Kemudian setiap minggu, dia menulis nama salah seorang siswa pada selembar poster besar dan meminta teman-teman sekelasnya untuk menulis ciri-ciri positif dan sifat dari siswa tersebut, contoh : SAM = Sukses, Aktif, Matang. MARY = Menarik, Asyik, Ramah, Yang selalu di tunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar