Selasa, 22 Februari 2011


Kunci sukses komunikasi bawah sadar orangtua kepada anak ( II )

Membangun komunikasi bawah sadar anak

Sebenarnya, komunikasi pikiran bawah sadar mencoba memberikan informasi positif kepada anak. Dengan demikian, anak bisa memahami maksud dan keinginan serta mampu menyerap sempurna setiap informasi yang berkualitas dari kedua orangtuanya.
Komunikasi merupakan kunci sukses hubungan antara orangtua dan anak-anaknya. Bentuk kasih sayang seperti pelukan, ciuman, sentuhan dan semacamnya merupakan bentuk komunikasi dari “pikiran bawah sadar” yang perlu dipupuk dan dilatih kepada anak sejak anak berusia dini. Dengan demikian, sampai kapanpun, komunikasi “kasih sayang” (compassionate communication) dari kedua orangtua kepada anak-anaknya bisa terus berlangsung, tanpa adanya perasaan malu, terganggu dan semacamnya dari sang anak.
Sebuah bentuk komunikasi “bawah sadar” harus memperhatikan faktor-faktor seperti berikut :
a.  Easy To Understand

Ringkas atau rumitnya sebuah informasi yang akan diinformasikan dari orangtua ke anak-anaknya merupakan salah satu kunci sukses yang harus dipahami oleh orangtua. Bahasa memegang peranan penting saat sebuah komunikasi dilakukan. Namun, body language (bahasa tubuh) juga mendukung terciptanya komunikasi harmonis antara orangtua dan anak. Oleh karena itu, anda perlu membiasakan diri untuk menyelaraskan antara bahasa yang digunakan dan body language.
Jadi rumusnya adalah [komunikasi = ucapan + bahasa tubuh]. Sebagai contoh, saat anda mengatakan “dedek sayang, mama sayang banget sama dedek sayang”, ingatlah bahwa saat anda mengucapkan kata sayang, senyuman, gerak, dan raut wajah anda harus mendukung apa yang sedang anda ucapkan.
Jika antara ucapan dan bahasa tubuh anda tidak ada kesinkronan, seorang anak melakukan “tebakan-tebakan perasaan”. Jika hal itu terus-menerus terjadi, tanpa disadari, seorang anak memberikan label-label khusus kepada orangtuanya, misalnya menganggap orangtuanya “pembohong”, “pura-pura sayang”, “mau menangnya sendiri”. Oleh karena itu, pastikan maksud dan tujuan ucapan benar-benar jelas tanpa menimbulkan kesan ganda (ambiguity). 

b.  Interesting (menarik)

Kemenarikan dan keasyikan informasi yang akan disampaikan dan diterima oleh anak bisa membuat anak mengalihkan perhatiannya ke orangtuanya. Hal itu merupakan kunci sukses bagaimana terciptanya hubungan harmonis antara seorang ibu/bapak kepada anak.
Informasi yang ingin disampaikan kepada anak, seperti “mulai sekarang, dedek menyiapkan buku sendiri ya” atau “mulai sekarang dedek belajar sholat ya”, harus benar-benar bisa menarik perhatian anak. Sebagai contoh, ketika orangtua menyuruh anaknya belajar sholat, tetapi memberi teladan dengan tidak melakukan sholat. Hal itu menjadikan anak tidak melirik,bahkan mengikuti apa yang disuruh. Selain menyuruh anak untuk belajar sholat, anak harus benar-benar dikenalkan dan diberi pemahaman tentang bagaimana kegiatan sholat itu dilakukan.
Pembelajaran bisa dilakukan dengan mengajaknya ke mushala, surau, langgar, atau masjid, serta ikut terlibat dalam situasi shalat dengan orangtua. Dengan demikian, proses pembelajaran sholat menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi seorang anak. Pikiran bawah sadarnya akan secara otomatis terisi oleh indahnya melakukan ibadah tersebut dan hal itu akan terus tertanam hingga usianya dewasa. Jangan heran jika pada usia anak sudah dewasa, anda menyuruh anak anda sholat, suruhan tersebut merupakan hal yang masih menarik  perhatian mereka.
                                   
c.   Pahami sensifitas anak  

Sensifitas anak saat menerima informasi dari orangtua harus dijadikan “sinyal-sinyal” bagi orangtua. Orangtua harus peka serta memahami kondisi dan situasi, yaitu “saat yang tepat” untuk bisa berkomunikasi dengan anak-anak
Pada saat suami istri bertengkar dan saling berargumentasi, sebaiknya hindari proses pertengkaran tersebut di depan anak-anak. Jauhi proses tumbuh kembang anak dengan hal-hal yang bisa membuat sensitifitas anak menjadi tidak stabil. Saat anak melihat pertengkaran hebat orangtua, memori bawah sadar anak merekam secara cepat dan menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari hidupnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada kemudian hari anak tersebut menjadi anak yang sering marah-marah dan selalu memberi alasan/membantah.
Saat seorang anak sedang asyik-asyiknya bermain atau melakukan aktivitas tertentu, orangtua perlu melihat “timing”/waktu yang tepat untuk berkomunikasi. Sebagai contoh,  saat menyuruh anak tidur siang atau makan siang. Kadangkala, orangtua melakukan “jurus diktator” untuk memaksakan setiap kehendaknya, bahkan kadang melakukan bentuk kekerasan seperti menjewer kuping, mencubit, dan semacamnya. Ironisnya, bagi orangtua yang sibuk dalam urusan “cari uang” alias bekerja, persentase waktu mendidik anak lebih dikuasai oleh “babysitter” ketimbang orangtua.
Kecenderungan perlakuan seseorang yang mungkin saja menggunakan “pola diktatorisme” agar “kerjaan beres” bisa menjadi awal timbulnya “emosi negatif pada anak”.

d.  Information style

Gaya penyampaian informasi kepada anak perlu diperhatikan, apalagi saat anak mulai tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Sering kali, orangtua dianggap sebagai sosok yang menakutkan bagi anak. Kemarahan orangtua seperti bentakan, teriakan, dan semacamnya dianggap sebagai hal yang selalu melekat di pikiran bawah sadar anak.jika hal tersebut berlangsung lama, hal itu menjadi bagian hidup anak sepanjang masa.
Perlakuan orangtua kepada seorang anak terkadang “selalu sama” pada setiap masa. Misalnya intonasi bahasa, gaya bahasa, tata bahasa, tanpa melihat secara jeli perkembangan kedewasaan anak. Saat anak sudah mulai memasuki usia sekolah, bisa dipastikan pengucapan panggilan kepada anak dengan sebutan “dedek kecil” di depan teman-temannya bisa berakibat pada timbulnya “rasa malu” atau “dipermalukan”. Jika orangtua tidak tanggap terhadap permasalahan ini, pikiran bawah sadar anak bisa melakukan “sabotase” alias berusaha ingin mempermalukan orangtuanya pada kemudian hari nanti.

e.  Using Multisensory Technique

Saat anak mulai memahami bentuk komunikasi sederhana, itulah waktu yang paling tepat mengenalkan sebuah bentuk komunikasi “bawah sadar” kepada anak. Sebagai contoh, memperlihatkan raut wajah “tidak setuju” saat anak melakukan hal yang kurang terpuji, memberikan pujian disertai dengan pelukan dan sentuhan saat anak melakukan prestasi, atau menanamkan nilai-nilai kebaikan dengan membacakan cerita/dongeng pada saat anak menjelang tidur.
Artinya, jangan jadikan komunikasi orangtua kepada anak-anaknya hanya berua kata-kata. Namun, lakukan pembelajaran kepada anak dengan mengenalkan beragam bentuk  komunikasi, misalnya dengan memnberikan senyuman (komunikasi secara visual), sapaan (komunikasi secara audio), dan tepukan/pelukan (komunikasi kinestetik).
Harapannya, dengan mengenal komunikasi bawah sadar ini, kualitas proses tumbuh kembang anak dapat maksimal. Dengan demikian, setiap orangtua akan semakin bangga kepada anak-anaknya pada saat anak-anak itu dewasa nanti. Semoga.... Amien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar